Sistem rangking ditetapkan, CPNS dengan komulatif 255 bisa ikut tes SKB

Image
SISTEM RANGKING SELEKSI CPNS DAN DASAR HUKUMNYA...HOT NEWS Baru baru ini beredar rilis Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi /Menpan RB Nomor 61 Tahun 2018 tertanggal 21 November 2018 tentang  Optimalisasi Pemenuhan Kebutuhan Formasi Pegawai Negeri Sipil Dalam Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2018, Peraturan ini berdasarkan info yang di dapat sudah di undangkan dalam Berita Negera 2018 nomor 1545.

NASKAH AKADEMIK RAPERDA PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN SANGGAU

oleh 
LE-KHKP

BAB 1

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

 Bhinneka Tunggal Eka:  beraneka ragam, namun tetap satu. Semboyan nasional itu dengan tepatnya  menjelaskan realitas  yang paling dalam dari Indonesia. Semboyan tersebut mencerminkan tekad  untuk bersatu dari masyarakat --yang mungkin merupakan masyarakat--  yang paling heterogen di dunia. Tekad untuk bersatu itu mencerminkan  adanya ciri kebudayaan  yang relatif sama dibalik kemajemukan yang sangat kontras (mencolok)[1]. Ditinjau dari segi etnik  dan budaya/adat istiadat, Indonesia  termasuk negara  yang paling heterogen di dunia. Di Indonesia  terdapat lebih dari 782 kelompok etnik  dan 600 bahasa  yang satu sama lain amat berbeda, ditambah  lagi
dengan  memasukkan keturunan Cina, Arab dan India  yang telah lama  dan bergenerasi menjadi warganegara Indonesia. Begitupula  dalam kehidupan beragama hampir semua agama besar  di dunia ada di Indonesia[2].
Mencermati  hal tersebut,  setiap usaha  pemikiran maupun tindakan  yang mencoba mereposisikan dengan  persoalan sosial Indonesia akan selalu dihadapkan pada suatu kesulitan yang relatif permanen, yaitu masalah kesatuan dan  keberagaman.  Mengingat yang menyeluruh (kesatuan) tidak dapat dengan tuntas mem-presentasikan pluralitas dan bagian-bagiannya. Demikian pula pluralitas dan bagian-bagiannya tidak dapat diseragamkan begitu saja untuk mencakup  yang menyeluruh. Baik yang menyeluruh maupun bagian-bagiannya memiliki struktur, nilai dan sistem  serta dinamika-nya sendiri.
Keberadaan  masyarakat hukum adat  (MHA) di Indonesia[3]  adalah cerminan   dari keberagaman Indonesia yang memiliki struktur, nilai dan sistem  serta dinamikanya sendiri, yang tidak bisa diseragamkan, baik dari segi  etnisitas, tradisi, kekayaan sumber daya alam  dan lain sebagainya. Pemaksaaan  terhadap  penyeragaman atau pengabaian  terhadap keberagaman malah mengakibatkan mematikan dinamika tradisi yang bersangkutan dan dapat merusak jalinan sosial yang telah terpatri dan mentradisi.
Dalam hubungannya dengan  MHA,  secara konsepsional   tentang MHA  dapat dirujuk  dari pendapat  Ter Haar (1979: 27) dengan istilahnya yang disebut sebagai adatrechts-gemeenschap (masyarakat hukum adat), yakni masyarakat hukum dari golongan masyarakat Indonesia asli yang terikat dalam satu kesatuan secara lahir dan batin yang bertindak sebagai satu kesatuan organisasi menurut tingkah laku tertentu, di mana segala sesuatu dalam kesatuan masyarakat tersebut terjadi dan berlangsung akibat adanya suatu aturan tertentu (yang tiada lain adalah aturan hukum adat).
Berdasarkan konsepsi  tersebut bahwa masyarakat hukum adat  adalah suatu masyarakat hukum sebagai suatu institusi politik yang mandiri (mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada institusi sosial yang lebih besar) beserta segala macam perangkat kelembagaan yang ada yang pembentukan dan kehidupan di dalamnya didasarkan pada aturan hukum adat yang hidup dalam masyarakat tersebut. Berangkat dari sini, maka kiranya jelas bahwa kehidupan MHA pada dasarnya tidak bertumpu pada keberadaan negara beserta kelengkapan hukum negaranya, melainkan bertumpu pada aturan hukum adat mereka. Sehingga, setiap hak yang lahir dan eksis, baik itu hak kolektif maupun hak perseorangan, dalam suatu komunitas masyarakat adat disebabkan karena adanya aturan hukum adat dalam komunitas masyarakat tersebut. Dalam konteks seperti ini substansi dari produk hukum  idealnya menyediakan ruang bagi eksistensi hukum adat dan nilai-nilai tradisionalnya.
Karakter pendekatan pembangunan yang berpola top-down, memposisikan MHA sering hanya sekedar obyek pembangunan. MHA dengan nilai, kepemimpinan dan kearifan kultural yang dimilikinya acapkali disingkirkan atas nama pembangunan dan modernisasi. Mereka dianggap bersifat pasif dan primitif yang berarti anti modernitas. Maka tidak heran apabila atas nama modernisasi terjadi proses marginalisasi dan penaklukan terhadap masyarakat hukum adat. Melalui jargon demi pembangunan dengan sekalian produknya masyarakat hukum adat semakin kehilangan peran dan eksistensinya untuk mengaktualisasikan hak-hak dasar mereka, seperti: hak menunaikan ritual, hak untuk mengembangkan warisan budaya, hak untuk mengakses sumber daya tanah dan hutan  dan lain sebagainya.
     Dinamika pembangunan dengan menguatnya pengaruh liberalisasi ekonomi di bidang  tata kelola sumber daya alam    berdasarkan pengamatan Pablo Pacheco[4], pada sejumlah negara berkembang, selalu  diikuti dengan pengambilalihan lahan sekala besar dan terjadinya konversi/pengundulan hutan secara masifHal  yang demikian, seringkali berpengaruh negatif pada masyarakat lokal (MHA,pen), yang menyebabkan kehilangan akses kepemilikan dan kemiskinan. Kondisi paradoks ini, seolah  membenarkan  berlakunya  hipotesis Stiglitz[5] tentang resource curse (kutukan sumber daya alam). Kutukan SDA merupakan fenomena paradoks, yang terjadi pada negara-negara yang melimpah kekayaan SDA, namun rakyatnya banyak yang miskin.  Kondisi ini terjadi karena tata kelola  SDA-nya  dilakukan secara  eksploitatif, tumpang tindih,  tidak bersendikan pada kearifan lokal dan  keadilan ekologis[6].  Suatu ilustrasi tentang tumpang  tindih berbagai peraturan di bidang  agraria, dijelaskan dengan sangat baik oleh Myrna Safitri  dan Tristam  Moeliono, menurutnya:  UUPA  mengatur tentang  tanah dan kekayaan alam secara umum. Namun  didalamnya juga berlaku berbagai undang-undang, akibat secara normatif   berlaku  berbagai macam  rezim pengaturan[7].
     Linier  dengan hipotetik kutukan sumber daya alam tersebut, Iwan Nurjaya (2000:4). mengkonstasikan pada proses tersebut  setidaknya semakin  dilanggengkan  oleh   kehadiran  model hukum yang bersifat represif (represive law), yang mengandung ciri-ciri seperti berikut:1) Mengatur norma-norma yang mengabaikan, memarjinalisasi, dan bahkan menggusur hak-hak rakyat atas penguasaan dan pemanfaatan SDA; 2) Menekankan pendekatan keamanan (security approach); 3) Menonjolkan sanksi-sanksi hukum yang hanya ditujukan untuk rakyat yang melakukan pelanggaran hukum; 4) Memberi stigma kriminologis bagi pelanggar hukum sebagai perusak SDA, penjarah kekayaan alam, peladang liar/berpindah, perambah hutan, perumput atau penggembala liar, perusuh keamanan hutan,  pencuri hasil hutan, dan lain lain.
Pada MHA, termasuk MHA di Kabupaten Sanggau kesepakatan norma dan nilai merupakan roh bagi dunia kehidupan yang menjamin berlangsungnya proses reproduksi dari semua sektor kehidupan masyarakatnya dalam rangka menjamin kelangsungan hidup dan identitasnya. Proses tersebut menurut Hebermas (1990) mencakup fungsi, yaitu: (1) reproduksi kultural; (2) integrasi sosial dan (3) sosialisasi.  Reproduksi kultural ialah proses-proses yang menjamin kontunitas tradisi dan koherensi pengetahuan praktis sehari-hari yang ditandai oleh adanya rasionalitas pengetahuan yang dianggap sahih karena dicapai melalui konsensus nilai dan norma. Integrasi sosial menata dan memelihara hubungan-hubungan antar pribadi dan dengan menstabilkan identitas kelompok, yang dapat diukur dengan adanya solidaritas diantara warga masyarakat. Sedangkan sosialisasi dalam dunia kehidupan merupakan proses-proses yang menghubung-kan setiap kelompok dalam masyarakat untuk mencapai kompetensi umum bagi tindakannya, sehingga tercipta keselarasan. Apabila cakupan ketiga fungsi tersebut  dalam  masyarakat hukum adat tidak terakomodasinya, mengakibat-kan lahirnya krisis kebudayaan dalam bentuk hilangnya makna, krisis sosial dalam bentuk krisis legitimasi dan krisis identitas dalam bentuk disorientasi bagi masyarakatnya dan puncaknya dalam tataran empirik terjadinya konflik atau sengketa berkepanjangan baik dalam konteks manifes maupun latensi dalam masyarakat hukum adat.
     Pasca reformasi,  desentralisasi dan pelaksanaan pembangunan yang berbasis pada kearifan lokal telah menjadi salah satu arus utama sebagai tuntutan kebutuhan masyarakat menggantikan kebijakan yang sentralistik dan penyeragaman di masa  lalu. Hal itu selanjutnya, ditegaskan dalam ketentuan UUD 1945 hasil perubahan. Pasal 28 I Ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan negara menjamin identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban[8]. Pengakuan dan penghormatan tersebut tidak hanya terhadap identitas budaya, juga terhadap eksistensinya sebagai subyek hukum. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat, beserta hak-hak tradisionalnya[9]. Ketentuan konstitusional pengakuan masyarakat adat memiliki dua unsur penting. Pertama adalah jaminan pengakuan dan penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, kedua adalah pembatasan, yaitu sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua unsur tersebut akan menjadi landasan untuk menentukan kriteria suatu kesatuan masyarakat dapat disebut kesatuan masyarakat hukum adat yang akan diatur dalam undang-undang.
          Apabila disimak ketentuan  UUD NRI 1945 dan sejumlah  undang-undang sektoral, negara  yang direprenstasikan  pemerintah mengakui keberadaan MHA.  Seakan tidak lengkap sebuah peraturan bila tidak berisi pengakuan terhadap keberadaan dan hak-hak MHA. Hal ini sangat dipengaruhi oleh advokasi yang dilakukan oleh MHA  dan para pendukungnya yang sejak kemunculannya memang hendak mengatur ulang hubungan antara MHA dengan negara. Reposisi hubungan antara MHA dengan negara nampak dalam semboyan yang dikumandangkan pada saat pendirian Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999: “Bila negara tidak mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara”.
          Ironis, praktiknya sampai sekarang MHA masih mem-perjuangkan hak-haknya. Masih banyak konflik yang muncul akibat saling bertubrukannya kepentingan masyarakat hukum adat dan kepentingan pemerintah. Pemerintah menganggap bahwa posisi mereka adalah sebagai negara yang harus melaksanakan fungsinya dalam pengelolaan sumberdaya alam. Akhirnya terjadi tindakan kesewenang-an dari pemerintah. Berbagai pengalaman dalam perhadapan dengan Negara dan pihak ketiga menempatkan MHA sebagai korban pembangunan. Jika kita dapat menerima asumsi bahwa masyarakat hukum  adat sebagian besar terkonsentrasi di kawasan perdesaan atau pedalaman, dan dengan merujuk pada data tentang konsentrasi kemiskinan yang tinggi di kawasan tersebut, kita dapat mengatakan lebih lanjut bahwa masyarakat hukum adat adalah masyarakat miskin. Padahal negara di sini adalah rakyat dan pemerintah yang harus saling menghormati satu dengan yang lain terkait dengan tugas dan hak-haknya, terutama sebagai pemangku kewajiban yang utama  dalam rangka  memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan  hak asasi warga negaranya.
  Pendekatan pembangunan yang memposisikan MHA  termarginal-kan menurut Bodley[10]  dalam Nurjaya pada gilirannya akan menimbulkan ongkos pembangunan yang sangat mahal, tidak saja ongkos ekologi berupa kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan, atau ongkos ekonomi berupa hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat adat, tetapi juga ongkos sosial dan budaya berupa kerusakan tatanan sosial dan kebudayaan masyarakat adat.
          MHA menghadapi tantangan yang berat untuk tetap bertahan dalam tradisinya. Kini mereka dipaksa untuk ”modern” dari kacamata masyarakat umum dengan keharusan meninggalkan tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai budaya luhur. Demi kepentingan pembangun-an yang hanya dimaknai mengejar pertumbuhan ekonomi, keberadaan komunitas adat atau suku terasing sering kali diabaikan. Padahal, cara dan nilai hidup komunitas adat itu penting untuk menjaga bertahannya keanekaragaman budaya.
          Implikasi  lebih lanjut, mengakibatkan  terciptanya suatu relasi,  yang bersifat subordinasi antara rakyat dengan pemerintah, dalam pengertian bahwa rakyat dalam posisi yang inferior dan pemerintah kedudukan yang superior. Organisasi otonom yang ada di masyarakat harus ditundukkan pada “ raksasa organisasi“, yaitu negara,  yang dianggap sebagai pemegang kedaulatan yang bersifat tunggal untuk mengatur rakyat. Keadaan ini menempatkan  negara dalam posisi di persimpangan, karena sesungguhnya  ada organisasi (asli ) normatif lain  masih ada  yang tetap eksis   berlaku dimasyarakat[11].
Penyusunan  produk hukum daerah,  terutama  yang bersentuh-an dengan  masayarakat hukum adat,  hendaknya mendasarkan  pada  pendekatan  yang sinergis dan harmonis terhadap  sistem nilai dan kelembagaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta sejalan dengan sumber-sumber nilai-nilai kearifan lokal[12]. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat hukum adat yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Menurut  Keraf[13]  kearifan  lokal  (tradisional)  bukan  hanya  menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat  tentang  manusia  dan  bagaimana  relasi  yang  baik  di  antara  manusia, tetapi  juga  menyangkut  pengetahuan,  pemahaman  dan  adat  kebiasaan  tentang manusia,  alam,  dan  bagaimana  relasi  di  antara  penghuni  komunitas  ekologis  itu harus  dibangun. Menurut, Chatcharee Naritoom menyatakan kearifan lokal adalah: Local wisdom is the knowledge that discovered or acquired by local people through the accumulation of experiences in trials and integrated with the understanding of surrounding nature and culture”,[14] adalah pengetahuan yang ditemukan atau dikemukakan oleh masyarakat tradisional melalui akumulasi pengalaman uji-coba dan terintegrasi dengan pemahaman lingkungan (baik alam maupun budaya) yang ada di sekelilingnya.
Pada MHA   yang pola pikirnya masih didominasi  nilai-nilai  asli (kearifan lokal), pemahaman  ketertiban  sering  dimaknai  dari perspektif  kerangka tertib dunia  kosmos, melalui mitos, kultus,  ritus dan etika. Oleh karenanya  dalam MHA, termasuk  masyarakat hukum adat  di Kabupaten  Sanggau,    kata hukum  atau yuridis  ditafsir secara beragam, hal ini mengandung maksud  bahwa  MHA bukannya  ”alergi” atau tidak memiliki hukum  melainkan  mereka memiliki tujuan yang  amat mulia  yang akan mempergunakan hukum dalam konteks yuridis  secara lebih bijak. Fenemona seperti ini memiliki keuntungan  akibat terhindarnya  dari penggusuran kekayaan kearifan lokal yang sudah lama  mentradisi dan terbukti ampuh serta  efektif dalam  mengatur dan mengelola relasi  kehidupannya.
Pola relasi yang terbentuk pada MHA di Kabupaten Sanggau didasari pada hubungan yang saling memberi penghargaan, penghormatan terhadap kemanusiaan dan kesetaraan antara individu sebagai manusia yang tidak terpisahkan dari bagian masyarakat hukum adat. Pola relasi yang terbangun tersebut dilandasi oleh adanya ideologi, kepercayaan, etika, adat-istiadat yang sama serta bangunan struktur atau lapisan dalam masyarakat hukum adat yang menentukan bagaimana seharusnya mereka menjalin relasi satu sama lainnya, baik antara mereka yang memiliki perhubungan darah (berasal dari keturunan yang sama) ataupun mereka yang memiliki tempat kediaman yang sama.
Adapun susunan struktur masyarakat hukum adat di Kabupaten Sanggau terdiri dari : 1). Masyarakat hukum adat yang berstruktur geneologis berdasarkan ikatan keturunan, yakni masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal satu keturunan yang sama. Dalam masyarakat hukum adat, kesatuan geneologis di Kabupaten Sanggau hanya mengenal satu macam pertalian keturunan, yakni persekutuan hukum menurut garis ibu dan bapak (parental/bilateral); 2). Masyarakat adat yang berstruktur territorial, yakni masyarakat adat yang disusun berasaskan lingkungan daerah adalah  masyarakat yang anggota-anggotanya bersatu oleh karena mereka merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat sehingga ada ikatan antara mereka dengan tempat tinggalnya[15].
Dasar yang mempersatukan masyarakat hukum adat territorial ini adalah karena ada ikatan diantara anggotanya dengan tanah yang didiami sejak kelahirannya, yang didiami orangtuanya, nenek-moyangnya secara turun temurun. Ada tiga jenis masyarakat adat yang berstruktur territorial di Kabupaten Sanggau, yaitu :
a. masyarakat kampung[16];
b. masyarakat persekutuan kampung;
c. masyarakat  perserikatan kampung.
      Kampung sebagai unit untuk menentukan kriteria wilayah masyarakat hukum adat di Kabupaten Sanggau wilayah pola sebarannya didasarkan pada ciri-ciri geografis yang dapat dibedakan sebagai berikut[17] :
1.  Daerah pedalaman (hinterland) yaitu daerah yang jauh dari pantai dan laut  yaitu mereka yang hidup di paling hulu-hulu sungai di daerah landai atau dekat kaki lereng gunung atau dipuncak-puncak gunung;
2.  Daerah di paling hilir sungai dekat pantai yang jauh dari perjumpaan kampung masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat;
3.  Daerah pedalaman dengan areal luas yang pola kehidupannya bercocok tanam maupun kecakapan lainnya yang jauh dari perjumpaan kampung masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat;
4.  Daerah pedalaman dengan areal luas yang pola kehidupannya bercocoktanam maupun kecakapan lainnya yang tidak terlalu jauh dari dan enggan memanfaatkan perjumpaan kampung masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat terdekat.
         Rekam perjuangan masyarakat hukum adat untuk mendapatkan hak tata kelola hutan adat telah mendapat titik terang dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35/PUU-X/2012[18]. Mahkamah Konstitusi  menyatakan hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara yang berada di bawah kendali Kementerian Kehutanan, hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Kini MHA dinyatakan sebagai subjek pemangku hak (right-bearing subject). Putusan MK akan berpengaruh pada posisi komunitas masyarakat hukum adat yang beragam bentuknya di lokalitas yang berbeda-beda. Pasca Putusan MK tersebut Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan melalui Menteri Kehutanan, telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013 tanggal 16 Juli 2013 kepada Gubernur/Bupati/Walikota seluruh Indonesia       dan Kepala Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan untuk segera membuat Peraturan Daerah tentang Penge-lolaan Hutan Adat sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Pembentukan Perda tersebut juga memberikan jaminan terjadinya penyelesaian konflik tenurial di kemudian hari yang selama ini konflik tenurial  hingga ke level komunitas sering kali tidak menemukan kepastian penyelesaian secara hukumPutusan MK tersebut menjadi momen penting bagi MHA karena dengan putusan ini maka MHA  dapat menuntut pengakuan terhadap wilayah adatnya.
Mencermati  realitas yang demikian ini,  berpedoman  pada ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014  tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah merinci pembagian kewenangan daerah pada masing-masing provinsi, kabupaten/kota.  Meskipun  dalam pembagian kewenangan tersebut,  secara eksplisit tidak menyebutkan  bahwa   pengakuan  dan perlindungan masyarakat hukum  adat, merupakan salah satu kewenangan yang didesentralisasikan, namun apabila diperhatikan, esensi dari otonomi daerah, yang memberikan keleluasaan pemerintah daerah untuk  membuat  regulasi dalam bentuk peraturan daerah, terutuma yang terkait dengan dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. maka  pembuatan  produk hukum daerah setingkat  peraturan daerah  yang mengatur tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat  merupakan suatu keniscayaan.
           Menurut  Myrna  A Safitri Direktur Epistema  Institute[19],  bahwa pengakuan dan perlindungan  hak MHA dan  wilayah kelola MHA   dapat dilakukan melalui  4 (empat) jalur, yaitu:  (1) Keputusan Kepala Daerah, sesuai ketentuan  Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentangPedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. ; (2) Penetapan hak komunal, sesuai ketentuan  Permen ATR/BPN Nomor 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal  Masyarakat Hukum Adat  dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; (3)  Semua produk hukum daerah, sesuai  Permen LHK Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015 tentang Hutan Adat  dan (4) Melalui Peraturan Daerah, sesuai ketentuan  Undang-Undang Nomor 41  Tahun 1999 tentang Kehutanan  dan Undang-Undang  Nomor 6  Tahun 2014 tentang Desa.  Myrna  A Safitri  menegaskan salah satu prioritas   rekomendasi  adalah  melalui jalur  mekanisme  penerbitan Peraturan Daerah. Dalam Konteks  yang demikian pembentukan Peraturan Daerah tentang  Pengakuan dan Perlindungan  Hak Masyarakat Hukum Adat, yang substansi juga mengatur  Pengelolaan Hutan Adat yang menekan  pada revitalisasi kearifan lokal. Spirit penekanan pada  kearifan lokal, dikarenakan masyarakat hukum adat  lebih paham dan adaptif mengenai persoalan yang terdapat di lingkungan alam berikut dengan cara mengatasinya.
       Urgensi kehadiran Peraturan Daerah  tentang Pengakuan dan Perlindungan  Hak Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Sanggau  ini,   disamping  terkait erat dengan upaya mengoptimalkan secara kongkrit  pelaksanaan fungsi legislasi  DPRD Kabupaten Sanggau, sekaligus melaksanakan amanat putusan Mahkamah Konstitusi  dengan melakukan pilihan  jalur pengaturan  dan penetapan  melalui pembuatan peraturan daerah.
Dalam hubungannya  penyusunan draft Raperda tentang pengakuan dan perlindungan  hak masyarakat hukum adat Kabupaten Sanggau, adanya lampiran naskah akedemik  sangat urgen dan penting[20]. Dibuatnya naskah akademik  dalam draft Raperda ini  merupakan   naskah awal yang memuat pengaturan materi-materi bidang tertentu sesuai dengan cakupan pengakuan dan perlindungan  hak masyarakat hukum adat yang telah ditinjau secara sistemik, holistik dan futuristik[21]. Pada dasarnya naskah akademik itu sendiri, berisi suatu kajian yang bersifat normatif dan empiris, serta dilakukan sebelum draft rancangan Peraturan Daerah dirumuskan, oleh karena Naskah Akademik bukanlah suatu produk hukum, yang  dapat dibentuk baik oleh anggota DPR, DPD, atau DPRD, oleh  Pemerintah, pemerintah daerah lembaga swadaya masyarakat maupun akademisi. Melalui kajian dalam bentuk naskah akademik, maka adanya Peraturan Daerah yang bermasalah  dapat dicegah sejak dini.

B. Identifikasi Permasalahan
          Beberapa  identifikasi  permasalahan  yang mendorong  segera dilakukan pengaturan  secara relatif komprehensif  terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat di Kabupaten Sanggau, disebabkan karena kondisi saat ini sudah  sangat memprihatinkan terutama terkait dengan dinamika pembangunan daerah yang mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat, khususnya yang menyangkut hak atas budaya, tanah, wilayah, dan pengelolaan sumber daya alam yang diperoleh secara  turun-temurun menurut hukum adatnya. Implikasi belum optimalnya  pengakuan  dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat di Kabupaten Sanggau, mengakibatkan munculnya konflik di masyarakat  hukum adat dan  dapat  menghalangi  masyarakat hukum  adat untuk   berdaulat, mandiri dan bermartabat  sebagai bagian dari  bangsa Indonesia.
          Problematika krusialnya lainnya,  apabila pengakuan  dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat  di Kabupaten Sanggau mendasarkan dan menyandarkan pada  perundang-undangan sektoral masih dirasakan tidak akomodatif dan aplikatif, lambat  dan tidak sesuai dengan kondisi lokal di Kabupaten Sanggau.       
      Adapun permasalahan yang dianggap  urgen  dan signifikan untuk disampaikan dalam penyusunan naskah akademik draft Raperda tentang  pengakuan dan perlindungan  hak masyarakat hukum adat Kabupaten Sanggau, adalah  sebagai berikut:
1.  Apa urgensi dan signifikansi  perlunya diinisiasi lahirnya Raperda tentang  pengakuan dan perlindungan  hak masyarakat hukum adat Kabupaten Sanggau  ?
2.  Apa dasar pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis dari penyusunan  Raperda  tentang  pengakuan dan perlindungan  hak masyarakat hukum adat Kabupaten Sanggau ?
3.  Bagimanakah sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam penyusunan Raperda tentang  pengakuan dan perlindungan  hak masyarakat hukum adat Kabupaten Sanggau  ?

C. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik .
          Secara spesifik tujuan penyusunan  naskah akademik draft Raperda tentang  pengakuan dan perlindungan  hak masyarakat hukum adat Kabupaten Sanggau, memiliki tujuan dan kegunaan : (1) Tujuannya untuk memberi penegasan  rumusan, konseptualisasi, metode, pertimbangan dan solusi terhadap persoalan pengakuan dan perlindungan  hak masyarakat hukum adat; (2) Kegunaannya  sebagai acuan dan referensi  penyusunan dan pembahasan Raperda tentang  pengakuan dan perlindungan  hak masyarakat hukum adat Kabupaten Sanggau. Naskah Akademik ini diharapkan mampu memberikan deskripsi lebih  komprehensif  dari sisi filosofis, yuridis dan sosiologis berkaitan dengan pemecahan permasalahan yang melatarbelakangi dari pengakuan dan perlindungan  hak masyarakat hukum adat Kabupaten Sanggau.

D. Metode Kajian/Penelitian.
        Dalam praktik, penyusunan naskah akademik dilakukan dengan metode yang berbeda-beda. Tahap-tahap yang ditempuh dalam penyusunan naskah akademik dipengaruhi oleh kebutuhan, situasi dan kondisi. Ada naskah akademik yang membutuhkan penelitian lapangan (field research) yang mendalam. Sementara naskah akademik lainnya cukup dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) dan studi dokumen  atau menggabungkan keduanya. 
        Atas dasar hal tersebut, maka penulisan  naskah akademik  ini  mendasarkan pada metode deskriptif analitis dengan  pendekatan socio-legal[22]  dianggap yang tepat. Tipe pendekatan socio legal ini, menurut Sulistyowati Irianto[23] dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif kritikal dan empiris kualitatif di dalam satu kajian, yaitu: melalui studi literatur, analisis isi peraturan perundang-undangan, studi dokumen, rapat konsultasi,  diskusi, pengamatan lapangan.
         Melalui cara demikian, maka  tampilan deskripsi dari naskah akademik ini menggabungkan antara  kondisi realitas lapangan   dan  rujukan kepustakaan  (studi dokumen) dan berbagai aturan yang  berlaku yang memiliki relevansi dengan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat. Selanjutnya  dalam format-konstruksinya, naskah akademik  ini  mendasarkan  pada  ketentuan   Undang-Undang Nomor  12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.        
E. Sistematika Penulisan
Berdasarkan ketentuan  Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada  bagian penjelasannya telah mengatur secara tegas  tentang ruang lingkup  dan sistematika naskah akademik, yaitu sebagai berikut:
BAB       
I
PENDAHULUAN
BAB 
II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
BAB 
III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT.
BAB 
IV
LANDASAN   FILOSOFIS,  SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
BAB 
V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA.
BAB 
VI
PENUTUP.
Bertitik tolak  dari  acuan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada  bagian penjelasannya,  maka   format  dan substansinya Naskah Akademik  tentang Pengakuan dan Perlindungan  Hak Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Sanggau terdiri dari 6 (enam) BAB, yang disusun dengan sistematika, sebagai berikut:



[1]. Para pendiri bangsa (the founding father)  Indonesia, sejak semula sudah menyadari, bahwa negara yang akan dibentuk adalah  negara kepulauan yang majemuk. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keragaman sosial, budaya, politik dan agama, lihat dalam M. Hatta Roma Tampubolon,  Konsepsi Masyarakat Adat dan Problematika Pengakuan dan Perlindungannya, Risalah Hukum, Fakulats Hukum  Unmul, 2010, hlm: 71
[2]. Rusman Heriawan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Rabu, 3 Februari 2011 malah menyampaikan bahwa dari hasil sensus penduduk terakhir, diketahui Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa, Periksa Anonim, “Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa”, dalam http://www.jpnn.com/berita.detail-57455, diakses tgl. 25 Oktober 2012; Wicipto Kepala BPHN malah menyebutkan Indonesia memiliki 20.000 kelompok masyarakat adat, Periksa Wicipto Setiadi, “Arah Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Adat, Makalah keynote speech dalam Seminar Nasional Arah Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Adat dalam Sistem hukum Nasional, kerjasama BPHN-UNIBRAW, Malang, 12 Mei 2011, hlm. 8; Bandingkan  Anas Radin Syarif, Exploring Redd+ Implementation In Indonesia’s State Policies for Indigenous Peoples (Jakarta, 2010), hlm. 5; Bandingkan Myrna A. Safitri and Rafael Edy Bosko, Indigenous Peoples/Ethnic Minorities and Poverty Reduction Indonesia (Manila, 2002), hlm. 9

[3]  Hazairin  mengungkapkan bahwa masyarakat-masyarakat hukum adat Indonesia seperti desa di Jawa, marga di Sumatra Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, dan lain-lain  adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya, lihat dalam Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum  terhadap  Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP, Jakarta, 2006, hlm: 12

[4] Pablo Pacheco, Pablo Pacheco, Investasi internasional di sektor pertanian: Apakah pengaruh negatifnya melebihi keuntungannya?,http://blog.cifor.org/656/investasi-internasional-di-sektor-pertanian-apakah-pengaruh-negatifnya-melebihi-keuntungan-nya#.VHs5k2eDJI1, diakses 10 Juli  2015
[5].Stiglitz, Berkelit dari Kutukan Sumber Daya Alam, terjemahan Surya Kusuma. Bogor: The Samdhana Institute, 2007, hlm:5, menyebutkan: kekayaan alam di negara-negara berkembang tersebut bukannya menyalurkan kesejahteraan ke tangan masyarakatnya, justru menjadi biang keladi bagi kemiskinan yang semakin merajalela. Fenomena tersebut acap disebut dengan kutukan sumber daya alam, atau resource curse.
[6].Wasisto Raharjo Jati, Manajemen Tata Kelola Sumber Daya Alam Berbasis  Paradigma Ekologi Politik, FISIPOL UGM, Yogyakarya,2013, hlm: 2 dan Stiglitz. Berkelit dari  Kutukan Sumber Daya Alam, terjemahan Surya Kusuma. Bogor : The Samdhana Institute, 2007.
[7].Myrna Safitri dan Tristam  MoelionoHukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia: Studi Tentang Tanah, Kekayaan Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi,  HUMA-Van Vollenhoven Institute, Jakarta,  2010, hlm: 5-7.  
[8]Eksistensi masyarakat hukum adat di negeri ini hanya akan dapat diakui apabila ada 4 syarat yang telah dapat dipenuhi.  Keempat syarat itu ialah kenyataan bahwa (1) masyarakat hukum adat itu masih hidup, (2) sesuai dengan perkembangan masyarakat, (3) sesuai pula dengan prinsip negara kesatuan RI, dan  (4) eksistensinya diatur dengan undang-undang. Keempat syarat yang dinyatakan ini merupakan tolok yuridis-normatif yang harus diperhatikan oleh pemerintah nasional apabila akan memberikan pengakuan kepada eksistensi masyarakat hukum adat.  Nyata jelas pula di sini bahwa keempat syarat itu mengisyaratkan bahwa kepentingan negara, yang diidentifikasi pula sebagai kepentingan nasional sebagaimana yang harus dijaga oleh kekuasaan nasional yang sentral, tetaplah harus didahulukan. Lihat dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Pengakuan Eksistensi Masyarakat Hukum Adat,  Seminar Nasional, Surabaya, 2012, hlm 3
  [9] Dalam Kertas Posisi yang disampaikan  Saafroedin Bahar pada saat  Acara Peringatan  Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat  Sedunia, ditegaskan  yang dimaksud dengan masyarakat adat  atau istilah lain yang sejenis  seperti masyarakat hukum  atau masyarakat tradisional  atau the indigenous people adalah suatu komunitas  antropologis yang bersifat homogen  dan secara berkelanjutan  mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau  mereka, merasa  dirinya dan dipandang  oleh pihak luar sebagai  berasal  dari  satu nenek moyang  yang sama, dan mempunyai identitas dan budaya  yang khas  yang ingin mereka pelihara  dan lestarikan  untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi  yang dominant  dalam struktur  dan sistem politik yang ada, Lihat Dalam Saafroedin Bahar, Mewujudkan hak Kontitusional  Masyarakat Hukum Adat, Komnas HAM, Jakarta  2007, hlm:9.
[10] John H. Bodley, Victims of Progress (California: Mayfield Publishing Company, 1982), hlm. 2, dikutip oleh Nyoman Nurjaya,“Menuju Pengakuan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam: Perspektif Antropologi Hukum”, Majalah Ilmiah  Kertha Wicaksana FH-Univ. Marwadewa Denpasar ,Vol. 15 No. 2, Juli, 2009, hlm. 102
[11] Dalam perkembangnnya, dikenal dua teori yang memberikan pengertian tentang kedaulatan. Pertama, monoisme yang menyatakan kedaulatan adalah tunggal, tidak dapat dibagi-bagi, dan pemegang kedaulatan adalah pemegang wewenang tertinggi dalam negara (baik person maupun institusi). Kedua, Pluralisme, yang menyatakan negara  bukanlah satu-satunya organisasi yang mempunyai kedaulatan. Banyak organisasi-organisasi lain yang berdaulat terhadap orang-orang dalam masyarakat, sehingga tugas negara hanyalah mengkoordinir organisasi yang berdaulat dibidangnya masing-masing, dalam Robert A Dahl“Democracy and Its Critics” sebagai kata ganti untuk gagasan demokrasi yang semakin meluas, dikutip oleh Hendra Nurtjahjo, dalam Filsafat Demokrasi, PSHTN-FHUI, 2005, hlm: 23
[12] Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekadar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh peradaban. Bandingkan dalam Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal: Revitalisasi Hukum Adat Nusantara, Grasindo, Jakarta, 2010, hlm: 38
[13] Sony Keraf, Etika LingkunganJakarta, 2006, hlm. 289
[14] Naritoom, Chatcharee, “Local Wisdom/Indigenous Knowledge System”, dalam The Value Of Local Wisdom And Child Participation In The Disaster Risks Reduction Context: Lesson Learnt from Sikka and Rembang – Indonesia, Pen. Vanda Lengkong,   Jurnal International Strategy for Disaster – UN/ISDR, Issue 04, 2009, hlm. 68
[15]   Bushar Muhammad , Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta : Pradnya Paramita, 2003, hal. 23-27.
[16] Kampung merupakan unit sosial terkecil pada masyarakat hukum adat dimana susunan masyarakatnya terdiri atas struktur geneologis dan teritorial.
[17] www.depsos.go.id, diakses tanggal 1 Oktober 2012.
[18].Para pemohon terdiri dari 1)aliansi masyarakat adat nusantara (aman), 2)kesatuan masyarakat hukum adat kenegerian kuntu, 3) kesatuan masyarakat hukum adat kasepuhan, sehingga beberapa pasal mengalami perubahan antara lain pasal 1 angka 6 menjadi berbunyi hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, pasal 4 ayat 3 dimaknai penguasaan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih hidup dan sesuai dengan perkembangan  masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam undang-undang. Selanjutnya pasal 5 ayat 1 dimaknai hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak termasuk hutan adat.
[19] Myrna  A Safitri, Pengakuan dan Perlindungan  Masyarakat Hukum Adat dan wilayah adat: Peluang dan Tantangan Dalam Kerangka  Hukum Nasional dan Daerah, Materi Workshop, Sanggau, 2015.

[20] Harry Alexander, seperti yang dikutip oleh Mahendra Putra Kurnia dkk, , mengatakan bahwa kedudukan naskah akademik merupakan: (1) bahan awal yang memuat gagasan-gagasan tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup dan materi muatan suatu peraturan daerah; (2)   Bahan petimbangan yang dipergunakan dalam permohonan izin prakarsa penyusunan Raperda/Rancangan Produk Hukum Daerah lainnya kepada Kepala Daerah; (3)  Bahan dasar bagi penyusunan Raperda /Rancangan Produk Hukum Daerah lainnya. Lihat dalam oleh Mahendra Putra Kurnia dkk, dalam bukunya Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, terbitan Kreasi Total media Yogyakarta, hlm: 31
[21] Naskah  akademik ini merupakan  naskah awal yang memuat gagasan, pengaturan dan materi  muatan peraturan daerah, yang telah ditinjau secara holistik-futuristik dari berbagai aspek ilmu, dilengkapi dengan  referensi yang memuat: urgensi, konsepsi, landasan,  alas hukum,  prinsip-prinsip yang digunakan, yang diuraikan secara sistematis dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmu hukum dan politik hukum, Lihat  juga dalam   Sirajudin, dkk, Legislative Drafting: Pelembagaan Metode Partisipatif Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, In-Trans-Publishing, Malang, 2008, hlm: 123.
[22]Ronny Hanitijo Soemitro mengemukakan bahwa pendekatan  socio legal research dimaksudkan untuk mempelajari dan meneliti hubungan timbal balik antara hukum dengan lembaga-lembaga sosial lainnya. Disini, hukum tidak dikonsepsikan sebagai suatu gejala normatif yang mandiri (otonom), tetapi sebagai suatu institusi sosial yang dikaitkan secara riil dengan variabel-variabel sosial yang lain. Hukum yang secara empiris merupakan gejala masyarakat, disatu pihak dapat dipelajari  sebagai suatu variable penyebab (independent variable) yang menimbulkan akibat-akibat pada berbagai segi kehidupan sosial  (Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, 1988, hlm: 34-38.
[23]Sulistyowati Irianto,  Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, Yayasan Obor Indonesia,  Jakarta, 2009, hlm:: 177.

Tag: 
forestry, wisata alam, cultur, indigenous people,human rights

Comments

Popular posts from this blog