oleh
LE-KHKP
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bhinneka
Tunggal Eka: beraneka ragam, namun tetap satu. Semboyan nasional itu dengan tepatnya menjelaskan realitas yang paling dalam dari Indonesia. Semboyan
tersebut mencerminkan tekad untuk
bersatu dari masyarakat --yang mungkin merupakan masyarakat-- yang paling heterogen di dunia. Tekad untuk
bersatu itu mencerminkan adanya ciri
kebudayaan yang relatif sama dibalik
kemajemukan yang sangat kontras (mencolok). Ditinjau
dari segi etnik dan budaya/adat istiadat, Indonesia termasuk negara yang paling heterogen di dunia. Di
Indonesia terdapat lebih dari 782
kelompok etnik dan 600
bahasa yang satu sama lain amat berbeda,
ditambah lagi
dengan memasukkan keturunan Cina, Arab dan India yang telah lama dan bergenerasi menjadi warganegara
Indonesia. Begitupula dalam kehidupan
beragama hampir semua agama besar di
dunia ada di Indonesia.
Mencermati hal
tersebut, setiap usaha
pemikiran maupun tindakan yang
mencoba mereposisikan dengan persoalan sosial
Indonesia akan selalu dihadapkan pada suatu kesulitan yang relatif permanen,
yaitu masalah kesatuan dan keberagaman. Mengingat yang menyeluruh (kesatuan) tidak
dapat dengan tuntas mem-presentasikan pluralitas dan bagian-bagiannya. Demikian
pula pluralitas dan bagian-bagiannya tidak dapat diseragamkan begitu saja untuk
mencakup yang menyeluruh. Baik yang
menyeluruh maupun bagian-bagiannya memiliki struktur, nilai dan sistem serta dinamika-nya sendiri.
Keberadaan
masyarakat hukum adat (MHA) di Indonesia adalah cerminan dari keberagaman Indonesia yang memiliki struktur, nilai dan sistem serta dinamikanya sendiri, yang tidak bisa diseragamkan, baik dari segi etnisitas, tradisi, kekayaan sumber daya
alam dan lain sebagainya. Pemaksaaan terhadap
penyeragaman atau pengabaian
terhadap keberagaman malah mengakibatkan mematikan dinamika tradisi yang bersangkutan dan
dapat merusak jalinan sosial yang telah terpatri dan mentradisi.
Dalam hubungannya dengan MHA,
secara konsepsional tentang MHA dapat dirujuk
dari pendapat Ter Haar (1979: 27) dengan istilahnya yang disebut sebagai adatrechts-gemeenschap (masyarakat hukum adat), yakni masyarakat hukum
dari golongan masyarakat Indonesia asli yang terikat dalam satu kesatuan secara
lahir dan batin yang bertindak sebagai satu kesatuan organisasi menurut tingkah
laku tertentu, di mana segala sesuatu dalam kesatuan masyarakat tersebut
terjadi dan berlangsung akibat adanya suatu aturan tertentu (yang tiada lain
adalah aturan hukum adat).
Berdasarkan konsepsi tersebut bahwa masyarakat hukum adat adalah suatu masyarakat hukum sebagai suatu institusi
politik yang mandiri (mampu berdiri sendiri tanpa bergantung pada institusi
sosial yang lebih besar) beserta segala macam perangkat kelembagaan yang ada
yang pembentukan dan kehidupan di dalamnya didasarkan pada aturan hukum adat
yang hidup dalam masyarakat tersebut. Berangkat dari sini, maka kiranya jelas
bahwa kehidupan MHA pada dasarnya tidak bertumpu pada keberadaan negara
beserta kelengkapan hukum negaranya, melainkan bertumpu pada aturan hukum adat
mereka. Sehingga, setiap hak yang lahir dan eksis, baik itu hak kolektif maupun
hak perseorangan, dalam suatu komunitas masyarakat adat disebabkan karena
adanya aturan hukum adat dalam komunitas masyarakat tersebut. Dalam konteks seperti ini substansi dari produk hukum idealnya
menyediakan ruang bagi eksistensi hukum adat dan nilai-nilai tradisionalnya.
Karakter
pendekatan pembangunan yang berpola top-down, memposisikan MHA sering hanya sekedar obyek pembangunan. MHA dengan nilai, kepemimpinan dan kearifan kultural yang dimilikinya
acapkali disingkirkan atas nama pembangunan dan modernisasi. Mereka dianggap
bersifat pasif dan primitif yang berarti anti modernitas. Maka tidak heran
apabila atas nama modernisasi terjadi proses marginalisasi dan penaklukan
terhadap masyarakat hukum adat. Melalui jargon demi pembangunan dengan sekalian produknya
masyarakat hukum
adat semakin
kehilangan peran dan eksistensinya untuk mengaktualisasikan hak-hak dasar
mereka, seperti: hak menunaikan ritual, hak untuk mengembangkan warisan budaya,
hak untuk mengakses sumber daya tanah dan hutan
dan lain sebagainya.
Dinamika
pembangunan dengan menguatnya pengaruh liberalisasi ekonomi di bidang tata
kelola sumber daya alam berdasarkan pengamatan Pablo Pacheco,
pada sejumlah negara berkembang, selalu
diikuti dengan pengambilalihan lahan sekala besar dan terjadinya konversi/pengundulan hutan secara masif. Hal yang demikian, seringkali berpengaruh negatif
pada masyarakat lokal (MHA,pen), yang menyebabkan
kehilangan akses kepemilikan dan kemiskinan. Kondisi paradoks ini,
seolah membenarkan berlakunya
hipotesis Stiglitz
tentang resource curse (kutukan sumber daya
alam). Kutukan SDA merupakan fenomena paradoks, yang terjadi pada negara-negara yang melimpah
kekayaan SDA, namun rakyatnya banyak yang miskin. Kondisi ini terjadi karena tata kelola SDA-nya dilakukan secara eksploitatif, tumpang tindih, tidak bersendikan pada kearifan
lokal dan keadilan ekologis[6]. Suatu
ilustrasi tentang tumpang tindih
berbagai peraturan di bidang agraria,
dijelaskan dengan sangat baik oleh Myrna Safitri dan Tristam Moeliono, menurutnya: “UUPA mengatur tentang tanah dan kekayaan alam secara umum.
Namun didalamnya juga berlaku berbagai
undang-undang, akibat secara normatif berlaku berbagai macam rezim pengaturan”[7].
Linier
dengan hipotetik kutukan sumber daya alam tersebut, Iwan Nurjaya (2000:4). mengkonstasikan pada proses tersebut setidaknya semakin dilanggengkan
oleh kehadiran model hukum
yang bersifat represif (represive law), yang mengandung
ciri-ciri seperti berikut:1) Mengatur norma-norma yang mengabaikan,
memarjinalisasi, dan bahkan menggusur hak-hak rakyat atas penguasaan dan
pemanfaatan SDA; 2) Menekankan pendekatan keamanan (security approach);
3) Menonjolkan sanksi-sanksi hukum yang hanya ditujukan untuk rakyat yang
melakukan pelanggaran hukum; 4) Memberi stigma kriminologis bagi pelanggar
hukum sebagai perusak SDA, penjarah kekayaan alam, peladang liar/berpindah, perambah hutan, perumput atau penggembala liar,
perusuh keamanan hutan, pencuri hasil
hutan, dan lain lain.
Pada MHA, termasuk MHA di Kabupaten
Sanggau kesepakatan norma dan nilai merupakan roh bagi dunia kehidupan yang
menjamin berlangsungnya proses reproduksi dari semua sektor kehidupan
masyarakatnya dalam rangka menjamin kelangsungan hidup dan identitasnya. Proses
tersebut menurut Hebermas (1990) mencakup fungsi, yaitu: (1) reproduksi
kultural; (2) integrasi sosial dan (3) sosialisasi. Reproduksi
kultural ialah proses-proses yang menjamin kontunitas tradisi dan koherensi
pengetahuan praktis sehari-hari yang ditandai oleh adanya rasionalitas
pengetahuan yang dianggap sahih karena dicapai melalui konsensus nilai dan
norma. Integrasi sosial menata dan memelihara hubungan-hubungan antar pribadi
dan dengan menstabilkan identitas kelompok, yang dapat diukur dengan adanya
solidaritas diantara warga masyarakat. Sedangkan sosialisasi dalam dunia
kehidupan merupakan proses-proses yang menghubung-kan setiap kelompok dalam masyarakat untuk mencapai kompetensi umum bagi
tindakannya, sehingga tercipta keselarasan. Apabila cakupan ketiga fungsi
tersebut dalam masyarakat hukum adat tidak terakomodasinya, mengakibat-kan lahirnya krisis kebudayaan dalam bentuk
hilangnya makna, krisis sosial dalam bentuk krisis legitimasi dan krisis
identitas dalam bentuk disorientasi bagi masyarakatnya dan puncaknya dalam
tataran empirik terjadinya konflik atau sengketa berkepanjangan baik dalam
konteks manifes maupun latensi dalam masyarakat hukum adat.
Pasca reformasi, desentralisasi dan pelaksanaan pembangunan yang
berbasis pada kearifan lokal telah menjadi salah satu arus utama sebagai
tuntutan kebutuhan masyarakat menggantikan kebijakan yang sentralistik dan
penyeragaman di masa lalu. Hal itu selanjutnya,
ditegaskan dalam ketentuan UUD 1945 hasil perubahan. Pasal 28 I Ayat (3) UUD NRI
1945 menyatakan negara menjamin identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban.
Pengakuan dan penghormatan tersebut tidak hanya terhadap identitas budaya, juga
terhadap eksistensinya sebagai subyek hukum. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 18B
Ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat adat, beserta hak-hak tradisionalnya.
Ketentuan konstitusional pengakuan masyarakat adat memiliki dua unsur penting. Pertama adalah jaminan pengakuan dan
penghormatan kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, kedua adalah pembatasan, yaitu sepanjang
masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Kedua unsur
tersebut akan menjadi landasan untuk menentukan kriteria suatu kesatuan
masyarakat dapat disebut kesatuan masyarakat hukum adat yang akan diatur dalam
undang-undang.
Apabila disimak ketentuan UUD NRI
1945 dan sejumlah undang-undang sektoral, negara yang
direprenstasikan pemerintah mengakui keberadaan MHA. Seakan tidak lengkap sebuah peraturan bila tidak berisi pengakuan
terhadap keberadaan dan hak-hak MHA. Hal ini sangat dipengaruhi oleh advokasi yang dilakukan oleh MHA dan para pendukungnya yang sejak kemunculannya
memang hendak mengatur ulang hubungan antara MHA dengan
negara. Reposisi hubungan antara MHA
dengan negara nampak dalam semboyan yang dikumandangkan pada saat pendirian
Aliansi Masyarkat Adat Nusantara (AMAN) pada tahun 1999: “Bila negara tidak
mengakui kami, maka kami tidak mengakui negara”.
Ironis, praktiknya sampai sekarang MHA masih mem-perjuangkan hak-haknya. Masih banyak konflik yang
muncul akibat saling bertubrukannya kepentingan masyarakat hukum adat dan kepentingan pemerintah. Pemerintah
menganggap bahwa posisi mereka adalah sebagai negara yang harus melaksanakan
fungsinya dalam pengelolaan sumberdaya alam. Akhirnya terjadi tindakan
kesewenang-an dari pemerintah. Berbagai pengalaman dalam
perhadapan dengan Negara dan pihak ketiga menempatkan MHA sebagai korban pembangunan. Jika kita dapat menerima asumsi bahwa
masyarakat hukum adat
sebagian besar terkonsentrasi di kawasan perdesaan atau
pedalaman, dan dengan merujuk pada data tentang konsentrasi kemiskinan yang tinggi
di kawasan tersebut, kita dapat mengatakan lebih lanjut bahwa
masyarakat hukum adat adalah masyarakat miskin. Padahal negara di sini adalah rakyat dan
pemerintah yang harus saling menghormati satu dengan yang lain terkait dengan tugas dan hak-haknya, terutama sebagai pemangku
kewajiban yang utama dalam rangka memberikan jaminan perlindungan dan
pemenuhan hak asasi warga negaranya.
Pendekatan pembangunan yang
memposisikan MHA termarginal-kan menurut Bodley dalam Nurjaya pada
gilirannya akan menimbulkan ongkos pembangunan yang sangat mahal, tidak saja
ongkos ekologi berupa kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan,
atau ongkos ekonomi berupa hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat adat,
tetapi juga ongkos sosial dan budaya berupa kerusakan tatanan sosial dan
kebudayaan masyarakat adat.
MHA menghadapi
tantangan yang berat untuk tetap bertahan dalam tradisinya. Kini mereka dipaksa
untuk ”modern” dari kacamata masyarakat umum dengan keharusan meninggalkan
tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai budaya luhur. Demi kepentingan pembangun-an yang hanya dimaknai mengejar pertumbuhan
ekonomi, keberadaan komunitas adat atau suku terasing sering kali diabaikan.
Padahal, cara dan nilai hidup komunitas adat itu penting untuk menjaga
bertahannya keanekaragaman budaya.
Implikasi
lebih lanjut, mengakibatkan
terciptanya suatu relasi, yang
bersifat subordinasi antara rakyat dengan pemerintah, dalam pengertian bahwa
rakyat dalam posisi yang inferior dan pemerintah kedudukan yang superior. Organisasi otonom yang ada di masyarakat harus
ditundukkan pada “ raksasa organisasi“, yaitu negara, yang dianggap sebagai pemegang kedaulatan
yang bersifat tunggal untuk mengatur rakyat. Keadaan ini menempatkan negara dalam posisi di persimpangan, karena sesungguhnya ada organisasi (asli ) normatif lain
masih ada yang tetap eksis berlaku
dimasyarakat.
Penyusunan
produk hukum daerah,
terutama yang bersentuh-an
dengan masayarakat hukum adat, hendaknya mendasarkan pada
pendekatan yang sinergis dan
harmonis terhadap sistem nilai dan
kelembagaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta sejalan dengan
sumber-sumber nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam
kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama.
Keberlangsungan kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku
dalam kelompok masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat hukum adat yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak
terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari. Menurut Keraf[13] kearifan
lokal (tradisional) bukan
hanya menyangkut pengetahuan dan
pemahaman masyarakat tentang manusia
dan bagaimana relasi
yang baik di
antara manusia, tetapi juga
menyangkut pengetahuan, pemahaman
dan adat kebiasaan
tentang manusia, alam, dan
bagaimana relasi di antara penghuni
komunitas ekologis itu harus
dibangun. Menurut, Chatcharee
Naritoom menyatakan kearifan lokal adalah: “Local
wisdom is the knowledge that discovered or acquired by local people through the
accumulation of experiences in trials and integrated with the understanding of
surrounding nature and culture”,[14] adalah pengetahuan yang
ditemukan atau dikemukakan oleh masyarakat tradisional melalui akumulasi
pengalaman uji-coba dan terintegrasi dengan pemahaman lingkungan (baik alam
maupun budaya) yang ada di sekelilingnya.
Pada MHA yang pola pikirnya masih didominasi nilai-nilai
asli (kearifan lokal), pemahaman
ketertiban sering dimaknai
dari perspektif kerangka tertib dunia kosmos, melalui mitos, kultus, ritus dan etika. Oleh karenanya dalam MHA, termasuk masyarakat hukum adat di Kabupaten Sanggau, kata
hukum atau yuridis ditafsir secara beragam, hal ini mengandung
maksud bahwa MHA bukannya ”alergi”
atau tidak memiliki hukum melainkan mereka memiliki tujuan yang amat mulia
yang akan mempergunakan hukum dalam konteks yuridis secara lebih bijak. Fenemona seperti ini
memiliki keuntungan akibat
terhindarnya dari penggusuran kekayaan
kearifan lokal yang sudah lama mentradisi dan terbukti ampuh serta efektif dalam
mengatur dan mengelola relasi
kehidupannya.
Pola relasi yang terbentuk pada MHA di Kabupaten Sanggau didasari pada
hubungan yang saling memberi penghargaan, penghormatan terhadap kemanusiaan dan
kesetaraan antara individu sebagai manusia yang tidak terpisahkan dari bagian
masyarakat hukum adat. Pola relasi yang terbangun tersebut dilandasi oleh
adanya ideologi, kepercayaan, etika, adat-istiadat yang sama serta bangunan
struktur atau lapisan dalam masyarakat hukum adat yang menentukan bagaimana
seharusnya mereka menjalin relasi satu sama lainnya, baik antara mereka yang
memiliki perhubungan darah (berasal dari keturunan yang sama) ataupun mereka
yang memiliki tempat kediaman yang sama.
Adapun susunan struktur masyarakat hukum
adat di Kabupaten
Sanggau terdiri dari : 1). Masyarakat hukum adat yang berstruktur geneologis berdasarkan ikatan keturunan, yakni
masyarakat hukum
adat yang
anggota-anggotanya merasa terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan
kepercayaan bahwa mereka semua berasal satu keturunan yang sama. Dalam
masyarakat
hukum adat,
kesatuan geneologis di Kabupaten Sanggau hanya mengenal satu macam pertalian
keturunan, yakni persekutuan hukum menurut garis ibu dan bapak (parental/bilateral); 2). Masyarakat adat yang berstruktur territorial,
yakni masyarakat adat yang disusun berasaskan lingkungan daerah adalah masyarakat yang anggota-anggotanya bersatu
oleh karena mereka merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat sehingga
ada ikatan antara mereka dengan tempat tinggalnya[15].
Dasar yang
mempersatukan masyarakat hukum adat
territorial ini adalah karena ada ikatan diantara anggotanya dengan tanah yang
didiami sejak kelahirannya, yang didiami orangtuanya, nenek-moyangnya secara
turun temurun. Ada tiga jenis masyarakat adat yang berstruktur territorial di
Kabupaten Sanggau, yaitu :
b. masyarakat
persekutuan kampung;
c. masyarakat perserikatan kampung.
Kampung sebagai unit untuk menentukan kriteria wilayah masyarakat hukum adat di Kabupaten Sanggau wilayah
pola sebarannya didasarkan
pada
ciri-ciri
geografis yang dapat dibedakan sebagai
berikut[17] :
1. Daerah
pedalaman (hinterland) yaitu daerah
yang jauh dari pantai dan laut yaitu
mereka yang hidup di paling hulu-hulu sungai di daerah landai atau dekat
kaki lereng gunung atau dipuncak-puncak gunung;
2. Daerah di paling
hilir sungai dekat pantai yang jauh dari perjumpaan kampung masyarakat
berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat;
3. Daerah pedalaman dengan
areal luas yang pola kehidupannya bercocok tanam maupun kecakapan
lainnya yang jauh dari perjumpaan kampung masyarakat berciri komunikasi
dan transaksi ekonomi pasar serta pemukiman ramai dan padat;
4. Daerah pedalaman
dengan areal luas yang pola kehidupannya bercocoktanam maupun kecakapan
lainnya yang tidak terlalu jauh dari dan enggan memanfaatkan perjumpaan
kampung masyarakat berciri komunikasi dan transaksi ekonomi pasar serta
pemukiman ramai dan padat terdekat.
Rekam perjuangan masyarakat hukum adat
untuk mendapatkan hak tata kelola hutan adat telah
mendapat titik terang dengan adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 35/PUU-X/2012.
Mahkamah Konstitusi menyatakan hutan adat bukan lagi bagian dari
hutan negara yang berada di bawah kendali Kementerian Kehutanan, hutan adat
adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Kini MHA dinyatakan sebagai subjek
pemangku hak (right-bearing subject). Putusan MK akan berpengaruh pada
posisi komunitas masyarakat hukum adat yang beragam bentuknya di lokalitas yang
berbeda-beda. Pasca Putusan MK tersebut Pemerintah dalam hal ini
Kementerian Kehutanan melalui Menteri Kehutanan, telah menerbitkan
Surat Edaran Menteri Kehutanan No. SE.1/Menhut-II/2013 tanggal 16 Juli
2013 kepada Gubernur/Bupati/Walikota seluruh Indonesia dan
Kepala Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota yang membidangi kehutanan untuk
segera membuat Peraturan Daerah tentang Penge-lolaan Hutan Adat sebagai pelaksanaan dari
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Pembentukan
Perda tersebut juga memberikan jaminan terjadinya penyelesaian konflik tenurial
di kemudian hari yang selama ini konflik tenurial hingga ke level komunitas sering kali tidak
menemukan kepastian penyelesaian secara hukum. Putusan MK tersebut
menjadi momen penting bagi MHA
karena dengan putusan ini maka MHA
dapat menuntut pengakuan terhadap
wilayah adatnya.
Mencermati realitas yang demikian
ini, berpedoman pada ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, telah merinci pembagian kewenangan daerah pada masing-masing provinsi, kabupaten/kota. Meskipun
dalam pembagian kewenangan tersebut,
secara eksplisit tidak menyebutkan
bahwa pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, merupakan salah satu kewenangan yang
didesentralisasikan, namun apabila diperhatikan, esensi dari otonomi daerah,
yang memberikan keleluasaan pemerintah daerah untuk membuat
regulasi dalam bentuk peraturan daerah, terutuma yang terkait dengan dengan
kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. maka pembuatan produk hukum daerah setingkat peraturan daerah yang mengatur tentang pengakuan dan
perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat
merupakan suatu keniscayaan.
Menurut Myrna A Safitri Direktur Epistema Institute, bahwa pengakuan dan perlindungan hak MHA dan wilayah kelola MHA
dapat dilakukan melalui 4
(empat) jalur, yaitu: (1)
Keputusan Kepala Daerah, sesuai ketentuan
Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentangPedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. ; (2) Penetapan hak komunal, sesuai
ketentuan Permen ATR/BPN Nomor 9 Tahun
2015 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal
Masyarakat Hukum Adat dan
Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu; (3) Semua produk hukum daerah, sesuai Permen LHK Nomor P.32/Menlhk-Setjen/2015
tentang Hutan Adat dan (4) Melalui
Peraturan Daerah, sesuai ketentuan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa.
Myrna A Safitri menegaskan salah
satu prioritas rekomendasi adalah
melalui jalur mekanisme penerbitan Peraturan Daerah. Dalam Konteks
yang demikian pembentukan Peraturan Daerah tentang
Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat, yang substansi
juga mengatur Pengelolaan Hutan Adat yang menekan pada revitalisasi kearifan lokal. Spirit
penekanan pada kearifan lokal,
dikarenakan masyarakat hukum adat lebih paham dan adaptif mengenai persoalan
yang terdapat di lingkungan alam berikut dengan cara mengatasinya.
Urgensi kehadiran Peraturan Daerah tentang Pengakuan
dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum
Adat Kabupaten Sanggau ini, disamping
terkait erat dengan upaya mengoptimalkan secara kongkrit pelaksanaan fungsi legislasi DPRD Kabupaten Sanggau, sekaligus melaksanakan
amanat putusan Mahkamah Konstitusi dengan
melakukan pilihan jalur pengaturan dan penetapan
melalui pembuatan peraturan daerah.
Dalam hubungannya penyusunan draft
Raperda tentang pengakuan
dan perlindungan hak masyarakat hukum
adat Kabupaten Sanggau, adanya lampiran naskah akedemik sangat urgen dan penting. Dibuatnya naskah akademik dalam draft Raperda ini merupakan naskah awal yang memuat pengaturan
materi-materi bidang tertentu sesuai dengan cakupan pengakuan
dan perlindungan hak
masyarakat hukum adat yang telah
ditinjau secara sistemik, holistik dan futuristik. Pada dasarnya naskah akademik itu sendiri,
berisi suatu kajian yang bersifat normatif dan empiris, serta dilakukan sebelum
draft rancangan Peraturan Daerah dirumuskan, oleh karena Naskah Akademik
bukanlah suatu produk hukum, yang dapat
dibentuk baik oleh anggota DPR, DPD, atau DPRD, oleh Pemerintah, pemerintah daerah lembaga swadaya
masyarakat maupun akademisi. Melalui kajian dalam bentuk naskah
akademik, maka adanya Peraturan Daerah yang bermasalah dapat dicegah sejak dini.
B. Identifikasi Permasalahan
Beberapa identifikasi
permasalahan yang mendorong segera dilakukan pengaturan secara relatif komprehensif terhadap pengakuan dan perlindungan hak-hak
masyarakat hukum adat di Kabupaten Sanggau, disebabkan karena kondisi saat ini
sudah sangat memprihatinkan terutama terkait
dengan dinamika pembangunan daerah yang mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat, khususnya yang
menyangkut hak atas budaya, tanah, wilayah, dan pengelolaan sumber daya alam
yang diperoleh secara turun-temurun
menurut hukum adatnya. Implikasi belum
optimalnya pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat di Kabupaten Sanggau,
mengakibatkan munculnya konflik di masyarakat
hukum adat dan dapat menghalangi
masyarakat hukum adat untuk berdaulat, mandiri dan bermartabat sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Problematika krusialnya lainnya, apabila pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat hukum
adat di Kabupaten Sanggau mendasarkan
dan menyandarkan pada perundang-undangan
sektoral masih dirasakan tidak akomodatif dan aplikatif, lambat dan tidak sesuai dengan kondisi lokal di
Kabupaten Sanggau.
Adapun
permasalahan yang
dianggap urgen dan
signifikan untuk disampaikan dalam penyusunan naskah akademik draft
Raperda tentang pengakuan dan
perlindungan hak masyarakat hukum adat Kabupaten Sanggau, adalah sebagai berikut:
1. Apa urgensi dan signifikansi perlunya diinisiasi lahirnya Raperda tentang pengakuan
dan perlindungan hak masyarakat hukum
adat Kabupaten Sanggau ?
2. Apa dasar pertimbangan atau
landasan filosofis, sosiologis, yuridis dari penyusunan Raperda tentang pengakuan
dan perlindungan hak masyarakat hukum
adat Kabupaten Sanggau ?
3. Bagimanakah sasaran yang akan
diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam penyusunan Raperda tentang pengakuan dan
perlindungan hak masyarakat hukum adat Kabupaten Sanggau ?
C. Tujuan dan Kegunaan Naskah Akademik .
Secara spesifik tujuan penyusunan naskah akademik draft Raperda tentang pengakuan
dan perlindungan hak masyarakat hukum
adat Kabupaten Sanggau, memiliki tujuan dan kegunaan : (1) Tujuannya untuk memberi
penegasan rumusan, konseptualisasi, metode, pertimbangan
dan solusi terhadap persoalan pengakuan dan
perlindungan hak masyarakat hukum adat; (2) Kegunaannya
sebagai acuan dan referensi
penyusunan dan pembahasan Raperda tentang pengakuan dan
perlindungan hak masyarakat hukum adat Kabupaten Sanggau. Naskah Akademik ini diharapkan mampu
memberikan deskripsi lebih komprehensif dari sisi filosofis, yuridis dan sosiologis
berkaitan dengan pemecahan permasalahan yang melatarbelakangi dari pengakuan
dan perlindungan hak masyarakat hukum
adat Kabupaten Sanggau.
D. Metode Kajian/Penelitian.
Dalam praktik, penyusunan naskah akademik dilakukan
dengan metode yang berbeda-beda. Tahap-tahap yang ditempuh dalam penyusunan
naskah akademik dipengaruhi oleh kebutuhan, situasi dan kondisi. Ada naskah
akademik yang membutuhkan penelitian lapangan (field research) yang mendalam. Sementara naskah akademik lainnya
cukup dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research) dan studi dokumen atau menggabungkan keduanya.
Atas dasar hal tersebut, maka penulisan naskah akademik ini
mendasarkan pada metode deskriptif analitis dengan pendekatan socio-legal dianggap yang tepat. Tipe pendekatan socio legal ini, menurut Sulistyowati Irianto
dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif kritikal dan empiris
kualitatif di dalam satu kajian, yaitu: melalui studi literatur, analisis isi
peraturan perundang-undangan, studi dokumen, rapat konsultasi, diskusi, pengamatan lapangan.
Melalui cara demikian,
maka tampilan deskripsi dari naskah
akademik ini menggabungkan antara kondisi realitas
lapangan dan rujukan kepustakaan (studi dokumen) dan berbagai aturan yang berlaku yang memiliki relevansi dengan pengakuan dan perlindungan hak
masyarakat hukum adat. Selanjutnya dalam
format-konstruksinya, naskah akademik
ini mendasarkan pada
ketentuan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
E. Sistematika
Penulisan
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
pada bagian penjelasannya telah mengatur
secara tegas tentang ruang lingkup dan sistematika naskah akademik, yaitu
sebagai berikut:
BAB
|
I
|
PENDAHULUAN
|
BAB
|
II
|
KAJIAN TEORETIS
DAN PRAKTIK EMPIRIS
|
BAB
|
III
|
EVALUASI DAN
ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT.
|
BAB
|
IV
|
LANDASAN FILOSOFIS,
SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
|
BAB
|
V
|
JANGKAUAN, ARAH
PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG, PERATURAN DAERAH
PROVINSI, ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA.
|
BAB
|
VI
|
PENUTUP.
|
Bertitik tolak dari acuan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
pada bagian penjelasannya, maka format dan
substansinya Naskah Akademik tentang Pengakuan
dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Sanggau terdiri dari 6 (enam) BAB, yang disusun dengan
sistematika, sebagai berikut:
. Rusman Heriawan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan
Komisi XI DPR RI, Rabu, 3 Februari 2011 malah menyampaikan bahwa dari hasil
sensus penduduk terakhir, diketahui Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa,
Periksa Anonim, “Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa”, dalam http://www.jpnn.com/berita.detail-57455, diakses tgl. 25
Oktober 2012; Wicipto
Kepala BPHN malah menyebutkan Indonesia memiliki 20.000 kelompok masyarakat
adat, Periksa Wicipto Setiadi, “Arah Perlindungan Hukum bagi
Masyarakat Adat”, Makalah keynote speech dalam Seminar
Nasional Arah Perlindungan Hukum bagi Masyarakat Adat dalam Sistem hukum
Nasional, kerjasama BPHN-UNIBRAW, Malang, 12 Mei 2011, hlm. 8;
Bandingkan Anas Radin Syarif, Exploring Redd+ Implementation In Indonesia’s State Policies for
Indigenous Peoples (Jakarta, 2010), hlm. 5; Bandingkan Myrna A. Safitri and
Rafael Edy Bosko, Indigenous
Peoples/Ethnic Minorities and Poverty Reduction Indonesia (Manila, 2002),
hlm. 9
Hazairin mengungkapkan bahwa masyarakat-masyarakat
hukum adat Indonesia seperti desa di Jawa, marga di Sumatra Selatan, nagari di
Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, dan lain-lain adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang
mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai
kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan
hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya, lihat dalam Rikardo
Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP, Jakarta,
2006, hlm: 12
.Stiglitz, Berkelit dari Kutukan Sumber Daya Alam, terjemahan
Surya Kusuma. Bogor: The Samdhana Institute, 2007, hlm:5, menyebutkan: kekayaan alam di negara-negara berkembang tersebut bukannya
menyalurkan kesejahteraan ke tangan masyarakatnya, justru menjadi biang keladi bagi kemiskinan yang semakin merajalela. Fenomena tersebut
acap disebut dengan kutukan sumber daya
alam, atau resource curse.
Eksistensi masyarakat hukum adat di negeri ini hanya
akan dapat diakui apabila ada 4 syarat yang telah dapat dipenuhi. Keempat
syarat itu ialah kenyataan bahwa (1) masyarakat hukum adat itu masih hidup, (2)
sesuai dengan perkembangan masyarakat, (3) sesuai pula dengan prinsip negara
kesatuan RI, dan (4) eksistensinya diatur dengan undang-undang. Keempat syarat yang dinyatakan ini merupakan tolok
yuridis-normatif yang harus diperhatikan oleh pemerintah nasional apabila akan
memberikan pengakuan kepada eksistensi masyarakat hukum adat. Nyata jelas
pula di sini bahwa keempat syarat itu mengisyaratkan bahwa kepentingan negara,
yang diidentifikasi pula sebagai kepentingan nasional sebagaimana yang harus
dijaga oleh kekuasaan nasional yang sentral, tetaplah harus didahulukan. Lihat dalam Soetandyo
Wignjosoebroto, Pengakuan Eksistensi Masyarakat Hukum Adat, Seminar Nasional, Surabaya, 2012, hlm
3
Dalam Kertas Posisi yang
disampaikan Saafroedin Bahar pada
saat Acara Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia, ditegaskan yang dimaksud dengan masyarakat adat atau istilah lain yang sejenis seperti masyarakat hukum atau masyarakat tradisional atau the indigenous people adalah suatu
komunitas antropologis yang bersifat
homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai
hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal
dari satu nenek moyang yang sama, dan mempunyai identitas dan budaya yang khas
yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak
mempunyai posisi yang dominant dalam struktur dan sistem politik yang ada, Lihat Dalam Saafroedin Bahar,
Mewujudkan hak Kontitusional Masyarakat Hukum Adat, Komnas HAM,
Jakarta 2007, hlm:9.
.Para pemohon terdiri dari
1)aliansi masyarakat adat nusantara (aman), 2)kesatuan masyarakat hukum adat
kenegerian kuntu, 3) kesatuan masyarakat hukum adat kasepuhan, sehingga
beberapa pasal mengalami perubahan antara lain pasal 1 angka 6 menjadi berbunyi
hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat, pasal
4 ayat 3 dimaknai penguasaan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat
hukum adat, sepanjang kenyataannya masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam undang-undang. Selanjutnya pasal 5
ayat 1 dimaknai hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a tidak
termasuk hutan adat.
Harry Alexander, seperti yang dikutip oleh Mahendra Putra Kurnia dkk,
, mengatakan bahwa kedudukan naskah akademik merupakan: (1) bahan awal yang
memuat gagasan-gagasan tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup dan materi
muatan suatu peraturan daerah; (2) Bahan petimbangan yang dipergunakan
dalam permohonan izin prakarsa penyusunan Raperda/Rancangan Produk Hukum Daerah
lainnya kepada Kepala Daerah; (3) Bahan dasar bagi penyusunan Raperda
/Rancangan Produk Hukum Daerah lainnya. Lihat dalam oleh Mahendra Putra Kurnia
dkk, dalam bukunya Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, terbitan Kreasi
Total media Yogyakarta, hlm: 31
Comments
Post a Comment